The Art of War

Ketahuilah diri mu, ketahuilah musuh mu, berperanglah 1000 kali, dan kau akan menang.
Aku ingin mengetahui semua kelemahan mu bukan berarti aku ingin mentertawakan atau merendahkan mu, tetapi aku ingin lebih jujur dalam mencintai mu.

Jumat, 04 Juni 2010

COPING STRES SEBAGAI PENCEGAH PENYAKIT FISIK

Sebagai seorang manusia, tidak bisa dipungkiri akan selalu adanya masalah yang mengganggu pikiran kita. Masalah-masalah tersebut tidak akan pernah ada habisnya seiring kita masih dapat bernafas dan berpikir. Semua masalah tersebut akan hilang jika kita sudah meninggal (mati) kelak. Kenyataan-kenyataan akan masalah tersebut yang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi setiap individu, terkecuali bagi individu yang memandang suatu masalah sebagai hal yang biasa dalam kehidupan. Masalah-masalah tersebut bisa datang dari mana saja, baik itu dari internal individu sendiri seperti rasa minder (kurang percaya diri); maupun dari eksternal individu yang datang dari lingkungan sekitar seperti dari keluarga atau dari pekerjaan. Akumulasi dari masalah-masalah tersebut yang tidak dapat terpecahkan atau diatasi oleh individu yang nantinya menjadi sumber dari stres atau yang dinamakan dengan stresor.

Stres merupakan hal yang paling umum terjadi, dimana stres banyak sekali mempengaruhi dalam kehidupan individu, bukan hanya secara psikis tetapi juga secara fisik. Keadaan stres yang terus-menerus dialami oleh individu tanpa bisa atau mendapatkan pemecahan yang pasti akan berdampak pada gangguan fungsi fisik yang dialami individu. Para ahli menggolongkan dampak buruk dari stres terhadap tubuh manusia dalam sejumlah kelompok utama sebagaimana berikut (http://www.harunyahya.com/):

  • Cemas dan Panik: Suatu perasaan yang menyebabkan peristiwa tidak terkendali.
  • Mengeluarkan keringat yang semakin lama semakin banyak
  • Perubahan suara: Berbicara secara gagap dan gugup
  • Aktif yang berlebihan: Pengeluaran energi yang tiba-tiba, pengendalian diabetik yang lemah
  • Kesulitan tidur: Mimpi buruk
  • Penyakit kulit: Bercak, bintik-bintik, jerawat, demam, eksim dan psoriasis .
  • Gangguan saluran pencernaan: Salah cerna, mual, luka pada permukaan dalam dinding saluran pencernaan
  • Penegangan otot: gigi yang bergesekan atau terkunci, rasa sakit sedikit tapi terus-menerus pada rahang, punggung, leher dan pundak
  • Infeksi berintensitas rendah: pilek, dsb.
  • Migrain
  • Denyut jantung dengan kecepatan yang tidak wajar, rasa sakit pada dada, tekanan darah tinggi
  • Ketidakseimbangan ginjal, menahan air
  • Gangguan pernapasan, pendek napas
  • Alergi
  • Sakit pada persendian
  • Mulut dan tenggorokan kering
  • Serangan jantung
  • Melemahnya sistem kekebalan
  • Pengecilan di bagian otak
  • Perasaan bersalah dan hilangnya percaya diri
  • Bingung, ketidakmampuan menganalisa secara benar, kemampuan berpikir yang rendah, daya ingat yang lemah
  • Rasa putus asa yang besar, meyakini bahwa segalanya berlangsung buruk
  • Kesulitan melakukan gerak atau diam, memukul-mukul dengan irama tetap
  • Ketidakmampuan memusatkan perhatian atau kesulitan melakukannya
  • Mudah tersinggung dan sangat peka
  • Bersikap yang tidak sesuai dengan akal sehat
  • Perasaan tidak berdaya atau tidak berpengharapan
  • Kehilangan atau peningkatan nafsu

Selain itu, dampak dari stres yang lain seperti yang diungkapkan oleh David Cochran, DDS, PhD, President dari the American Academy of Periodontology dan Chair of the Department of Periodontics pada the University of Texas Health Science Center di San Antonio, mengungkapkan bahwa stres bisa memicu seseorang untuk lebih banyak melakukan kebiasaan-kebiasaan yang merugikan rongga mulut, seperti penggunaan tembakau dan bahkan mungkin pula mereka mengabaikan kesehatan rongga mulutnya (http://drgdondy.blogspot.com/). Ditambahkan pula oleh Cohen bahwa stres meningkatkan resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, dari mulai gangguan pencernaan sampai penyakit jantung (dalam Nevid, dkk, 2005: 136).

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa stres yang dialami oleh individu bukan hanya berdampak pada kesehatan psikisnya saja, tetapi juga berdampak pada kesehatan fisiknya secara keseluruhan. Akan tetapi, stres yang dialami oleh individu memang suatu hal yang terkadang tidak bisa terelakkan, karena setiap orang pasti selalu mengalami masalah dan setiap orang pasti akan dihadapkan pada suatu situasi yang membuat dirinya tertekan yang akhirnya hal tersebut menjadi stressor bagi individu. Tetapi bukan tidak mungkin untuk kita mengatasi masalah-masalah yang menjadi stresor tersebut agar kita tidak larut dalam stres yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi fisik kita. Apa dan bagaimana cara mengatasi hal tersebut? Akan tetapi, sebelum kita mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana cara mengatasi stres, alangkah lebih baiknya jika kita mengatahui terlebih dahulu apa itu stres.

a. Pengertian Stres

Menurut Nevid, dalam psikologi kita menggunakan istilah stres (stress) untuk menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu/organisme agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri (Nevid, dkk, 2005: 135). Karena sudah menjadi suatu hal yang sering bagi individu maka stres dianggap sebagai hal yang biasa terjadi walaupun sering bersifat negatif. Seperti yang diungkapkan oleh Baum et al (dalam Niven, 2000: 121) yang menyatakan bahwa stres sudah menjadi konsep yang populer untuk menjelaskan variasi luas dari hasil akhir, yang kebanyakan negatif, yang sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan. Lebih lanjut Niven (2000: 121) mengungkapkan bahwa stres digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan, dan banyak keadaan lain.

Morgan dan King mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan oleh Cooper sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (http://rumahbelajarpsikologi.com/). Selain itu, Hans Selye menyatakan bahwa stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (http://www.akademik.unsri.ac.id/).

Dari pengertian diatas diketahui bahwa stres merupakan suatu tekanan atau tuntutan yang bersifat internal dari individu sehingga menimbulkan ketegangan fisik dan psikologis yang disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.

b. Coping sebagai Metode yang Efektif Mengurangi Stres

Coping merupakan salah satu metode untuk mengurangi efek dari stres yang berkelanjutan, walaupun ada beberapa metode atau faktor lain yang dapat dilakukan. Menurut Lazarus-Lazarus (2005: 169) stres dapat datang dari lingkungan, tubuh atau pikiran seseorang. Upaya yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi stres adalah dengan coping.

Sarafino (1998 : 132) mengemukakan arti coping sebagai suatu proses yang dilakukan individu untuk mencoba mengelola perasaan ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan lingkungan dan kemampuan yang ada dalam situasi yang penuh stres. Di tambahkan pula oleh Lazarus dan Folkman ( dalam Smet, 1994 : 143 ) yang mengemukakan bahwa coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan, baik yang berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan, dengan sumber-sumber yang di miliki oleh individu dalam menghadapi situasi yang penuh stres.

Maka coping merupakan proses yang dilakukan individu untuk mengelola perasaan ketidakcocokan akan tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu sendiri maupun dari lingkungan dengan kemampuan dan sumber-sumber yang dimiliki oleh individu dalam menghadapi situasi stres tersebut.

Menurut Lazarus & Folkman (http://rumahbelajarpsikologi.com/), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan menjadi :

1. Problem-focused coping

Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

2. Emotion-focused coping

Emotion-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan

Dua coping tersebut merupakan strategi yang mendasar dalam melakukan coping dan kedua strategi tersebut dapat digunakan secara bersamaan oleh individu. Seperti yang diungkapkan Taylor yang mengatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (http://rumahbelajarpsikologi.com/). Akan tetapi, walaupun kedua coping tersebut dapat digunakan bersamaan tetapi bentuk coping yang lebih baik adalah coping yang berfokus pada masalah. Hal tersebut dikarenakan coping yang berfokus pada masalah lebih menekankan kepada usaha yang dilakukan individu dalam mengubah sumber stres agar efeknya menjadi lebih ringan. Seperti yang diungkapkan Nevid (2005: 144-145) bahwa coping yang berfokus pada masalah mengarahkan orang menilai stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor tersebut. Ditambahkan lagi oleh Nevid bahwa coping yang berfokus pada masalah melibatkan strategi untuk menghadapi secara langsung sumber stres, seperti di contohkan Nevid dengan mencari informasi tentang penyakit dengan mempelajari sendiri atau melalui konsultasi medis. Pencarian informasi membantu individu untuk tetap bersikap optimis karena dengan pencarian informasi tersebut timbul harapan akan mendapatkan informasi yang bermanfaat.

Sedangkan untuk coping yang berfokus pada emosi cenderung tidak dapat menghilangkan stresor karena individu lari dari masalah atau stresor yang dihadapinya. Nevid (2005: 144) mengungkapkan bahwa coping yang berfokus pada emosi dilakukan dengan cara menyangkal adanya stresor atau menarik diri dari situasi. Lebih lanjut diungkapkan, coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan stresor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stresor.

Jadi sebaiknya jika sedang mengahadapi masalah atau sedang dihadapkan pada stresor maka sebaiknya menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah. Hal tersebut diungkapkan juga oleh Lazarus dan Folkman (http://rumahbelajarpsikologi.com/), maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam strategi coping yang berfokus pada masalah. Hal tersebut juga ditinjau berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Sarafino (1998: 136), yang menyebutkan 3 aspek problem-focused coping, antara lain:

a. pemecahan masalah dengan banyak cara menganalisa situasi untuk mencapai solusi dan mengambil tindakan langsung untuk memperbaiki masalah.

b. menghadapi tekanan dengan usaha yang dilakukan untuk menghadapi masalah secara tenang, rasional, dan mengarah pada penyelesaian masalah.

c. mencari dukungan sosial dengan mencoba untuk mencari informasi atau dukungan emosional.

Jadi, untuk menghindari timbulnya berbagai gangguan fisik yang disebabkan oleh stres, individu dapat menggunakan teknik coping yang lebih berfokus pada masalah. Karena coping yang berfokus pada masalah lebih efektif meringankan stres dari pada coping yang berfokus pada emosi. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis situasi yang menyebabkan stres untuk dapat mencari solusi dan tindakan yang dapat memperbaiki masalah, kemudian bersikap tenang, rasional, dan juga dapat dilakukan dengan cara mencari dukungan sosial untuk mendapatkan informasi tentang stresor tersebut.


Referensi

Dondy. 2009. Pengaruh Stress Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut. http://drgdondy.blogspot.com/. [16 Januari 2010].

Lazarus dan Lazarus. 2005. Staying Sane In a Crazy World. Alih Bahasa: Linggawati Haryanto. Jakarta: Bhuana Ilmu.

Niven, Neil. 2000. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, dan Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Sarafino, Edward P. 1998. Health Psychology: Biophychososial Interaction. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Grasindo

Sriati, Aat. 2008. Tinjauan Tentang Stres. http://www.akademik.unsri.ac.id/. [16 Januari 2010].

Wangsadjaja, Reina. 2008. Stres. http://rumahbelajarpsikologi.com/. [16 Januari 2010].

Widyasari, Putri. 2008. Stres Kerja. http://rumahbelajarpsikologi.com/. [16 Januari 2010].

Yahya, Harun. 2005. Stres dan Depresi: Akibat Tidak Menjalankan Agama. http://www.harunyahya.com/. [16 Januari 2010].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar