The Art of War

Ketahuilah diri mu, ketahuilah musuh mu, berperanglah 1000 kali, dan kau akan menang.
Aku ingin mengetahui semua kelemahan mu bukan berarti aku ingin mentertawakan atau merendahkan mu, tetapi aku ingin lebih jujur dalam mencintai mu.

Jumat, 04 Juni 2010

COPING STRES SEBAGAI PENCEGAH PENYAKIT FISIK

Sebagai seorang manusia, tidak bisa dipungkiri akan selalu adanya masalah yang mengganggu pikiran kita. Masalah-masalah tersebut tidak akan pernah ada habisnya seiring kita masih dapat bernafas dan berpikir. Semua masalah tersebut akan hilang jika kita sudah meninggal (mati) kelak. Kenyataan-kenyataan akan masalah tersebut yang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi setiap individu, terkecuali bagi individu yang memandang suatu masalah sebagai hal yang biasa dalam kehidupan. Masalah-masalah tersebut bisa datang dari mana saja, baik itu dari internal individu sendiri seperti rasa minder (kurang percaya diri); maupun dari eksternal individu yang datang dari lingkungan sekitar seperti dari keluarga atau dari pekerjaan. Akumulasi dari masalah-masalah tersebut yang tidak dapat terpecahkan atau diatasi oleh individu yang nantinya menjadi sumber dari stres atau yang dinamakan dengan stresor.

Stres merupakan hal yang paling umum terjadi, dimana stres banyak sekali mempengaruhi dalam kehidupan individu, bukan hanya secara psikis tetapi juga secara fisik. Keadaan stres yang terus-menerus dialami oleh individu tanpa bisa atau mendapatkan pemecahan yang pasti akan berdampak pada gangguan fungsi fisik yang dialami individu. Para ahli menggolongkan dampak buruk dari stres terhadap tubuh manusia dalam sejumlah kelompok utama sebagaimana berikut (http://www.harunyahya.com/):

  • Cemas dan Panik: Suatu perasaan yang menyebabkan peristiwa tidak terkendali.
  • Mengeluarkan keringat yang semakin lama semakin banyak
  • Perubahan suara: Berbicara secara gagap dan gugup
  • Aktif yang berlebihan: Pengeluaran energi yang tiba-tiba, pengendalian diabetik yang lemah
  • Kesulitan tidur: Mimpi buruk
  • Penyakit kulit: Bercak, bintik-bintik, jerawat, demam, eksim dan psoriasis .
  • Gangguan saluran pencernaan: Salah cerna, mual, luka pada permukaan dalam dinding saluran pencernaan
  • Penegangan otot: gigi yang bergesekan atau terkunci, rasa sakit sedikit tapi terus-menerus pada rahang, punggung, leher dan pundak
  • Infeksi berintensitas rendah: pilek, dsb.
  • Migrain
  • Denyut jantung dengan kecepatan yang tidak wajar, rasa sakit pada dada, tekanan darah tinggi
  • Ketidakseimbangan ginjal, menahan air
  • Gangguan pernapasan, pendek napas
  • Alergi
  • Sakit pada persendian
  • Mulut dan tenggorokan kering
  • Serangan jantung
  • Melemahnya sistem kekebalan
  • Pengecilan di bagian otak
  • Perasaan bersalah dan hilangnya percaya diri
  • Bingung, ketidakmampuan menganalisa secara benar, kemampuan berpikir yang rendah, daya ingat yang lemah
  • Rasa putus asa yang besar, meyakini bahwa segalanya berlangsung buruk
  • Kesulitan melakukan gerak atau diam, memukul-mukul dengan irama tetap
  • Ketidakmampuan memusatkan perhatian atau kesulitan melakukannya
  • Mudah tersinggung dan sangat peka
  • Bersikap yang tidak sesuai dengan akal sehat
  • Perasaan tidak berdaya atau tidak berpengharapan
  • Kehilangan atau peningkatan nafsu

Selain itu, dampak dari stres yang lain seperti yang diungkapkan oleh David Cochran, DDS, PhD, President dari the American Academy of Periodontology dan Chair of the Department of Periodontics pada the University of Texas Health Science Center di San Antonio, mengungkapkan bahwa stres bisa memicu seseorang untuk lebih banyak melakukan kebiasaan-kebiasaan yang merugikan rongga mulut, seperti penggunaan tembakau dan bahkan mungkin pula mereka mengabaikan kesehatan rongga mulutnya (http://drgdondy.blogspot.com/). Ditambahkan pula oleh Cohen bahwa stres meningkatkan resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, dari mulai gangguan pencernaan sampai penyakit jantung (dalam Nevid, dkk, 2005: 136).

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa stres yang dialami oleh individu bukan hanya berdampak pada kesehatan psikisnya saja, tetapi juga berdampak pada kesehatan fisiknya secara keseluruhan. Akan tetapi, stres yang dialami oleh individu memang suatu hal yang terkadang tidak bisa terelakkan, karena setiap orang pasti selalu mengalami masalah dan setiap orang pasti akan dihadapkan pada suatu situasi yang membuat dirinya tertekan yang akhirnya hal tersebut menjadi stressor bagi individu. Tetapi bukan tidak mungkin untuk kita mengatasi masalah-masalah yang menjadi stresor tersebut agar kita tidak larut dalam stres yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi fisik kita. Apa dan bagaimana cara mengatasi hal tersebut? Akan tetapi, sebelum kita mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana cara mengatasi stres, alangkah lebih baiknya jika kita mengatahui terlebih dahulu apa itu stres.

a. Pengertian Stres

Menurut Nevid, dalam psikologi kita menggunakan istilah stres (stress) untuk menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu/organisme agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri (Nevid, dkk, 2005: 135). Karena sudah menjadi suatu hal yang sering bagi individu maka stres dianggap sebagai hal yang biasa terjadi walaupun sering bersifat negatif. Seperti yang diungkapkan oleh Baum et al (dalam Niven, 2000: 121) yang menyatakan bahwa stres sudah menjadi konsep yang populer untuk menjelaskan variasi luas dari hasil akhir, yang kebanyakan negatif, yang sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan. Lebih lanjut Niven (2000: 121) mengungkapkan bahwa stres digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan, dan banyak keadaan lain.

Morgan dan King mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan oleh Cooper sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (http://rumahbelajarpsikologi.com/). Selain itu, Hans Selye menyatakan bahwa stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (http://www.akademik.unsri.ac.id/).

Dari pengertian diatas diketahui bahwa stres merupakan suatu tekanan atau tuntutan yang bersifat internal dari individu sehingga menimbulkan ketegangan fisik dan psikologis yang disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.

b. Coping sebagai Metode yang Efektif Mengurangi Stres

Coping merupakan salah satu metode untuk mengurangi efek dari stres yang berkelanjutan, walaupun ada beberapa metode atau faktor lain yang dapat dilakukan. Menurut Lazarus-Lazarus (2005: 169) stres dapat datang dari lingkungan, tubuh atau pikiran seseorang. Upaya yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi stres adalah dengan coping.

Sarafino (1998 : 132) mengemukakan arti coping sebagai suatu proses yang dilakukan individu untuk mencoba mengelola perasaan ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan lingkungan dan kemampuan yang ada dalam situasi yang penuh stres. Di tambahkan pula oleh Lazarus dan Folkman ( dalam Smet, 1994 : 143 ) yang mengemukakan bahwa coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan, baik yang berasal dari individu maupun yang berasal dari lingkungan, dengan sumber-sumber yang di miliki oleh individu dalam menghadapi situasi yang penuh stres.

Maka coping merupakan proses yang dilakukan individu untuk mengelola perasaan ketidakcocokan akan tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu sendiri maupun dari lingkungan dengan kemampuan dan sumber-sumber yang dimiliki oleh individu dalam menghadapi situasi stres tersebut.

Menurut Lazarus & Folkman (http://rumahbelajarpsikologi.com/), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan menjadi :

1. Problem-focused coping

Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

2. Emotion-focused coping

Emotion-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan

Dua coping tersebut merupakan strategi yang mendasar dalam melakukan coping dan kedua strategi tersebut dapat digunakan secara bersamaan oleh individu. Seperti yang diungkapkan Taylor yang mengatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (http://rumahbelajarpsikologi.com/). Akan tetapi, walaupun kedua coping tersebut dapat digunakan bersamaan tetapi bentuk coping yang lebih baik adalah coping yang berfokus pada masalah. Hal tersebut dikarenakan coping yang berfokus pada masalah lebih menekankan kepada usaha yang dilakukan individu dalam mengubah sumber stres agar efeknya menjadi lebih ringan. Seperti yang diungkapkan Nevid (2005: 144-145) bahwa coping yang berfokus pada masalah mengarahkan orang menilai stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor tersebut. Ditambahkan lagi oleh Nevid bahwa coping yang berfokus pada masalah melibatkan strategi untuk menghadapi secara langsung sumber stres, seperti di contohkan Nevid dengan mencari informasi tentang penyakit dengan mempelajari sendiri atau melalui konsultasi medis. Pencarian informasi membantu individu untuk tetap bersikap optimis karena dengan pencarian informasi tersebut timbul harapan akan mendapatkan informasi yang bermanfaat.

Sedangkan untuk coping yang berfokus pada emosi cenderung tidak dapat menghilangkan stresor karena individu lari dari masalah atau stresor yang dihadapinya. Nevid (2005: 144) mengungkapkan bahwa coping yang berfokus pada emosi dilakukan dengan cara menyangkal adanya stresor atau menarik diri dari situasi. Lebih lanjut diungkapkan, coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan stresor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stresor.

Jadi sebaiknya jika sedang mengahadapi masalah atau sedang dihadapkan pada stresor maka sebaiknya menggunakan strategi coping yang berfokus pada masalah. Hal tersebut diungkapkan juga oleh Lazarus dan Folkman (http://rumahbelajarpsikologi.com/), maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam strategi coping yang berfokus pada masalah. Hal tersebut juga ditinjau berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh Sarafino (1998: 136), yang menyebutkan 3 aspek problem-focused coping, antara lain:

a. pemecahan masalah dengan banyak cara menganalisa situasi untuk mencapai solusi dan mengambil tindakan langsung untuk memperbaiki masalah.

b. menghadapi tekanan dengan usaha yang dilakukan untuk menghadapi masalah secara tenang, rasional, dan mengarah pada penyelesaian masalah.

c. mencari dukungan sosial dengan mencoba untuk mencari informasi atau dukungan emosional.

Jadi, untuk menghindari timbulnya berbagai gangguan fisik yang disebabkan oleh stres, individu dapat menggunakan teknik coping yang lebih berfokus pada masalah. Karena coping yang berfokus pada masalah lebih efektif meringankan stres dari pada coping yang berfokus pada emosi. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis situasi yang menyebabkan stres untuk dapat mencari solusi dan tindakan yang dapat memperbaiki masalah, kemudian bersikap tenang, rasional, dan juga dapat dilakukan dengan cara mencari dukungan sosial untuk mendapatkan informasi tentang stresor tersebut.


Referensi

Dondy. 2009. Pengaruh Stress Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut. http://drgdondy.blogspot.com/. [16 Januari 2010].

Lazarus dan Lazarus. 2005. Staying Sane In a Crazy World. Alih Bahasa: Linggawati Haryanto. Jakarta: Bhuana Ilmu.

Niven, Neil. 2000. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, dan Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Sarafino, Edward P. 1998. Health Psychology: Biophychososial Interaction. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Smet, Bart. 1994. Psikologi kesehatan. Jakarta: Grasindo

Sriati, Aat. 2008. Tinjauan Tentang Stres. http://www.akademik.unsri.ac.id/. [16 Januari 2010].

Wangsadjaja, Reina. 2008. Stres. http://rumahbelajarpsikologi.com/. [16 Januari 2010].

Widyasari, Putri. 2008. Stres Kerja. http://rumahbelajarpsikologi.com/. [16 Januari 2010].

Yahya, Harun. 2005. Stres dan Depresi: Akibat Tidak Menjalankan Agama. http://www.harunyahya.com/. [16 Januari 2010].

ILMU ITU MAHAL!

Pendidikan menjadi sebuah kunci yang utama majunya suatu negara. Tanpa adanya pendidikan yang berkualitas maka akan sangat sulit untuk menjadikan negara itu berkembang. Menjadi suatu hal yang percuma jika kaya dengan sumber daya alam tetapi miskin dalam sumber daya manusia. Bukan berdasarkan kepada kuantitas tetapi lebih kepada kualitas SDM tersebut. SDM yang berkualitas mulai di bentuk melalui pendidikan yang paling dasar, yaitu dari play group, TK, sampai kepada tingkat perguruan tinggi yang nantinya akan menjadi penerus dan penentu keberhasilan suatu bangsa.
Secara umum, perguruan tinggi merupakan tingkat yang paling tinggi dalam membutuhkan pembiayaan. Mulai dari uang kuliah, uang buku, dan segala macam jenis pengeluaran yang berhubungan dengan perkuliahan. Ketika masuk menjadi seorang mahasiswa di suatu perguruan tinggi maka sudah tentu setiap semester akan dihadapkan dengan pembayaran perkuliahan yang biasanya sudah stagnan dari setiap semester, dan biasanya yang membedakan adalah jumlah SKS yang akan di bayar (PTS). Akan tetapi, ketika pihak kampus tiba-tiba melakukan kenaikan dalam pembayaran uang kuliah maka itu akan menjadi problem yang besar, baik bagi mahasiswa maupun juga orang tua.
Sebagai mahasiswa kenaikan uang kuliah merupakan hal yang perlu di maklumi ketika kenaikkan tersebut di sertai dengan alasan yang tepat dari pihak kampus. Perlu adanya konfimasi yang jelas berhubungan dengan kenaikkan tersebut sehingga para mahasiswa tidak salah dalam mempersepsikannya. Kenaikkan uang kuliah merupakan bentuk yang harus di maklumi jika melihat dari perkembangan ekonomi saat ini. Krisis gobal yang melanda menjadikan semua aspek ikut merasakan imbasnya tidak terkecuali dengan dunia pendidikan. Dengan demikian, sikap maklum itu menjadi hal yang wajar yang harus di tunjukkan.
Selain karena memang adanya perkembangan ekonomi yang tidak menentu, kenaikkan tersebut haruslah di sertai dengan meningkatnya mutu atau kualitas pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas. Misalnya dosen harus datang tepat waktu, sarana dan prasarana pembelajaran yang baik atau minimal memadai sehingga dengan demikian harga dari belajar tersebut sesuai dengan yang di bayar. Ada suatu ungkapan bahwa ilmu itu mahal. Begitulah memang. Untuk mendapatkan suatu ilmu yang baik dan bermanfaat kita harus membayar mahal ilmu tersebut karena tidak gampang menciptakan suatu ilmu yang baik dan bermanfaat bagi semua orang.

ABORSI, KEBUTUHAN ATAU KEBUNTUAN?

BKKBN memperkirakan bahwa setiap tahunnya kurang lebih 2.000.000 perempuan di Indonesia melakukan aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkannya, walaupun tindakan aborsi tersebut merupakan hal yang ilegal di Indonesia. Hal itu juga di ungkapkan oleh Guru Besar Universitas YARSI Jakarta, Prof.Dr H Jurnalis Uddin, P.AK. dalam seminar dan lokakarya "Sosialisasi Buku Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi" di Hotel Santika, Surabaya, Februari 2008, bahwa praktik aborsi (pengguguran kandungan) di Indonesia tetap tinggi dan mencapai 2,5 juta kasus setiap tahunnya. Data tersebut belum termasuk kasus aborsi yang dilakukan di jalur non medis (dukun).
Pengertian aborsi sendiri menurut prof. DR. Dr. Sarwono Prawirohardjo, DSOG. adalah pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gr atau kurang dari dua puluh minggu usia kehamilan. Dalam Kamus Saku Kedokteran Dorland juga dikatakan bahwa aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus sebelum janin viabel (dapat mempertahankan hidupnya sendiri).
Aborsi dapat dibagi dalam dua macam, yaitu aborsi spontan dimana aborsi terjadi secara alami, tanpa adanya faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, dan aborsi yang disengaja dimana dengan memakai obat-obatan (jamu, dsb) maupun dengan alat-alat. Aborsi yang disengaja sendiri terbagi menjadi dua, aborsi dengan alasan bila tidak dilakukan dapat membahayakan jiwa ibu dan biasanya perlu mendapat persetujuan dua sampai tiga tim dokter ahli, dan aborsi yang dilakukan karena tindakan-tindakan yang ilegal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
Ada beberapa alasan kenapa seorang perempuan melakukan aborsi seperti yang diungkapkan Jurnalis Uddin, yaitu karena alasan perkosaan, janin dideteksi punya cacat genetik, alasan sosial ekonomi, gangguan kesehatan, KB gagal, dan lainnya. Alasan yang umum diungkapkan oleh perempuan yang sudah menikah adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survei yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak. Sedangkan bagi perempuan yang belum menikah mereka melakukan aborsi karena tidak ingin memiliki anak tanpa ayah, merupakan aib keluarga, takut menggangu sekolah, dan karena alasan norma di masyarakat dan juga agama.
Walaupun praktek aborsi dilarang keras oleh Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 tahun 2005 tentang larangan aborsi. Tetapi kenapa tetap saja praktek tersebut sering dijalankan?
Kita bisa melihat dari data dan berbagai alasan tersebut diatas, bahwa praktek aborsi sudah menjadi suatu kebutuhan bagi perempuan di Indonesia. Mungkin jika alasannya adalah karena jika tidak dilakukan akan membahayakan jiwa ibu yang mengandung (berdasarkan indikasi medis) maka kita akan dapat memakluminya, tetapi jika alasannya adalah alasan yang ilegal atau tanpa didasari oleh indikasi medis maka hal itu yang menjadi masalah.
Bukan hanya secara hukum dan agama bermasalah tetapi keselamatan jiwa dari ibu yang mengandung juga akan menjadi masalah. Hal itu dikarenakan kebanyakan perempuan yang melakukan aborsi secara ilegal, melakukannya dengan tenaga yang tidak ahli (dukun). Penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten memperlihatkan 53 % jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayanan aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57 % di kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi (PPKLP-UI, 2001).
Perempuan yang melakukan aborsi dengan tenaga yang tidak terlatih akan mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi. WHO memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 - 1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Wijono, 2000). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 mengungkapkan bahwa aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap Angka kematian Ibu (AKI).
Kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan yang belum menikah menjadikan angka aborsi dan kematian menjadi bertambah. Seks bebas yang telah mereka lakukan yang berujung kepada kehamilan membuat mereka datang ke praktek-praktek aborsi ilegal yang ditangani oleh tenaga tidak terlatih. Sebenarnya apa yang ada dibenak mereka saat ingin menggugurkan kandungan tersebut. Seharusnya mereka berpikir, setelah mereka melakukan kesalahan (dosa) dengan melakukan hubungan seksual diluar nikah apa semestinya mereka harus melakukan kesalahan yang kedua dengan membunuh calon bayinya. Itu pun jika si ibu selamat, jika si ibu juga meninggal saat proses aborsi! Catatan-catatan itu seharusnya di sikapi dengan bijak oleh semua pihak, baik para remaja sendiri maupun orang tua dan pemerintah.
Peran orang tua sebenarnya adalah yang paling besar dari semuanya. Orang tua yang bijak adalah orang tua yang mengerti kebutuhan anaknya sesuai umur atau perkembangannya. Bukan berarti semua keinginan anaknya selalu diberikan, tetapi berikan apa yang memang diperlukan oleh anak (bermanfaat) dan filter atau buang apa yang dapat merugikannya. Seperti pemberian sex education sejak dini akan membuat anak ketika remaja dan dewasa dapat lebih memahami bahaya dari seks bebas. Memfilter apa yang dilihat dan dilakukan anak. Teknologi yang semakin canggih juga mengharuskan orang tua harus sedikit banyak bisa menguasai teknologi tersebut. Jangan menjadi orang tua yang GAPTEK, yang nantinya dapat di “bohongi” oleh anak sendiri.
Pendidikan yang baik harus diberikan sejak dini. Jangan kita menjadikan pendidikan seks menjadi hal yang tabu bagi anak-anak. Selain kita memberikan pembelajaran kepada anak, kita juga harus belajar apa-apa saja yang dibutuhkan oleh anak. Karena setiap tahap perkembangan/umur anak berbeda kebutuhannya. Jauhkan juga anggapan bahwa mengerti kebutuhan anak dan juga kepribadiannya hanya bisa dilakukan oleh seorang psikolog. Orang tua yang tidak mempunyai bidang dalam hal itu juga bisa melakukannya dengan belajar dari berbagai buku dan banyaknya seminar juga menjadi bahan referensi bagi orang tua dalam mengasuh anak.
Selain melalui kesadaran remaja akan bahayanya aborsi dan seks bebas dan juga usaha pemerintah yang selalu memberikan penyuluhan, pendidikan dan bimbingan orang tua sejak dini juga sangat dibutuhkan. Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati. Jika semua itu bisa terlaksana maka angka aborsi dan kematian juga akan berkurang.
Jika aborsi tidak dapat terelakkan lagi, maka peran pemerintah dalam memberikan rekomendasi klinik atau rumah sakit sebagai tempat aborsi yang aman merupakan hal yang penting. Selain itu harga yang mahal saat melakukan aborsi di klinik atau rumah sakit juga harus menjadi perhatian pemerintah. Karena tanpa adanya perhatian dan tindakan dari pemerintah tentang hal itu maka angka aborsi yang tidak aman dan angka kematian akan semakin bertambah besar setiap tahunnya.

Observasi

I. PENGERTIAN OBSERVASI

Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi Langsung dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama obyek yang diselidikinya. Sedang Observasi Tidak Langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang akan diselidiki. Misalnya peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau rangkaian foto.
Tujuan utama metode observasi adalah mendeskripsikan perilaku. Para ilmuwan berusaha mendeskripsikan perilaku selengkap dan seakurat mungkin. Peneliti menghadapi berbagai tantangan serius dalam usaha mencapai tujuan ini. Ilmuwan menyandarkan diri pada observasi terhadap sampel perilaku orang, tetapi mereka harus memutuskan apakah sampel mereka mewakili perilaku yang biasa dilakukan oleh orang itu. Sampel digunakan untuk mempresentasikan populasi yang lebih besar dari semua kemungkinan perilaku.
Agar penggunaan teknik ini dapat menghimpun data secara efektif perlu diperhatikan beberapa syarat sebagai berikut :
1. orang yang melakukan observasi (observer) harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai obyek yang akan diobservasi.
2. observer harus memahami tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian yang dilaksanakannya. Dengan demikian observer harus memahami juga secara baik masalah-masalah penelitian agar mampu menghimpun data dari gejala yang timbul sesuai dengan keperluan pemecahan masalah penelitian.
3. Tentukan cara dan alat yang dipergunakan dalam mencatat data. Untuk itu harus dipertimbangkan apakah pencatatan langsung di tempat observasi tidak akan merugikan bagi pengumpulan data. Sebaliknya harus dipertimbangkan juga apakah pencatatan setelah observasi dapat menjamin terhimpunnya data sebagaimana adanya, lebih-lebih apabila obyeknya komplek. Selanjutnya harus dipilih alat mencatat yang paling efektif apakah mempergunakan anecdotal record, catatan berkala, check list, rating sacle atau mechanical device.
4. Tentukan kategori pencatatan gejala yang diamati, dngan mempergunakan skala tertentu atau sekedar mencatat frekuensi munculnya gejala tanpa klasifikasi tingkatannya. Bilamana dipilih pencatatan dengan kategori tertentu, maka harus dirumuskan dengan tegas dan jelas. Ciri-ciri setiap kategori. Dengan kata lain harus jelas ciri-ciri gejala yang dikelompokkan dalam kategori sangat baik, baik, sedang, buruk, dan buruk sekali.
5. Observasi harus dilakukan secara cermat dan kritis. Seorang observer harus berusaha agar tidak satupun gejala yang lepas dari pengamatannya. Oleh karena itu observer haus bersifat kritis dalam menetapkan apakah satu gejala berhubungan dengan masalah penyelidikannya. Pada giliran berikutnya observer harus besikap ritis pula dalam menetapkan suatu gejala termasuk kategori yang mana.
6. Pencatatan setiap gejala harus dilakukan secara terpisah. Gejala demi gejala harus dicatat secara terpisah agar tidak saling mempengaruhi. Observer harus menghindari pencatatan suatu gejala secara tidak tepat karena pengaruh gejala yang lain. Misalnya karena sikap sopan dari orang yang diobservasi (observer), berpengaruh pada pencatatan tentang ketekunannya dalam bekerja sehingga dikategorikan sangat tekun, sedang dalam kenyataannya yang bersangkutan bukanlah orang yang patut dinyatakan sangat tekun.
7. Pelajari dan latihlah cara-cara mencatat sebelum melakukan observasi. Untuk itu perlu diketahui beberapa alat yang dapat dipergunakan dan cara mencatat dengan alat tersebut, yaitu:



a. Catatan anekdot (Anecdotal Record)
Alat ini dipergunakan untuk mencatat gejala-gejala khusus atau luar biasa menurut urutan kejadiannya. Catatan itu harus dibuat secepat-cepatnya setelah peristiwa khusus atau yang luar biasa itu terjadi. Oleh karena seorang observer jarang dapat berada bersama-sama obyeknya secara terus menerus untuk mencatat peristiwa atau gejala yang berhubungan dengan masalahnya, maka pencatatan ini sering memerlukan bantuan orang lain. Misalnya guru untuk mencatat gejala-gejala khusus tentang muridnya, manager perusahaan tentang karyawannya, Kepala Lembaga Permasyarakatan tentang narapidana dan lain-lain. Pencatatan ini harus dilakukan tentang bagaimana kejadiannya, bukan tentang pendapat si pencatat tentang kejadian tersebut.

b. Catatan Berkala (Insidental Record)
Pencatatan berkala walaupun tetap dilakukan secara berurutan menurut waktu munculnya suatu gejala, aan tetapi tidak dilakukan terus menerus yang mengharuskan observer tetap berada bersama obyeknya untuk jangka waktu yang relatif lama. Catatan berala dilakukan pada waktu tertentu. Dengan demikian pencatatan gejala yang timbul hanya dilakukan pada wakytu yang telah ditetapkan dan terbatas pula pada jangka waktu yang ditetapkan untuk tiap-tiap kali pengamatan.

c. Daftar Cek (Check List)
Pencatatan data dilakukan dengan mempergunakan sebuah daftar yang memuat nama-nama observer disertai jenis-jenis gejala yang diamati. Daftar itu harus disediakan sebelum observasi dilakukan. Dengan demikian tugasobserver adalah memberikan tanda check (silang atau lingkaran dan sebagainya), apabila pada saat melakukan pengamatan ternyata gejala di dalam daftar itu muncul. Sebaliknya tidak memberi tanda check dalam bentuk apapun, bilamana gejala tersebut tida muncul selama observasi dilakukuan. Dengan kata lain pencatatan hanya dilakukuan untuk menyatakan muncul tidaknya suatu gejala dan jumlah pemunculannya selama observasi berlangsung.

d. Skala Nilai (Rating Scale)
Pencatatan data dengan alat ini di lakukan seperti Check list , yakni dengan memberikan tanda check tertentu (silang atau lingkaran) apabila suatu gejala muncul di dalam kolom daftar yang sudah di sediakan. Perbedaannya terletak pada kategori sasi gejala yang di catat. Di dalam daftar rating scale tida sekedar terdapat nama obye yang diobservasi dan gejala-gejala yang akan diselidii, aan tetapi juga dicantuman olom-olom yang menunjukkan tingkatan atau jenjang setiapgejala resebut. Penjenjangan mungkin mempergunakan sala 3 atau 5 dan bahkan mungkin skala 7. Misalnya Bai, Sedang dan Buruk (sala 3), Sangat Baik, Baik, Sedang, Buruk dan Sangat Buruk (Skala 5), Luar Biasa, Sangat Baik, Baik, Sedang, Buruk, Sangat Buruk, Luar Biasa Buruk (Skala 7). Dengan demikian sangat diperlukan kecermatan dan sikap kritis observer dalam mencatat, karena harus menilai termasuk urutan mana suatu gejala yang sedang diamatinya di dalam kategori yang dipergunakan. Oleh karena itu semakin luas pemberian skala berarti semakin sulit pengamatan dilakukan. Pemilihan skala yang dipergunakan sangat tergantung pada masalah dan edalaman hasil penelitian yang henda dicapai.

e. Peralatan Mekanis (Mechanical Device)
Pencatatan data dengan alat ini sebenarnya tidak dilakukan pada saat observasi berlangsung, karena seluruh atau sebagian peristiwa direkam dengan mempergunaan peralatan elektronik sesuai dengan keperluan. Misalnya peristiwanya difilm, diphoto, suara direkam dengan tape recorder, menggunakan video tape dan lain-lain. Untuk pencatatan hasil rekaman itu diulang setelah peristiwanya terjadi. Penggunaan alat-alat elektronik dan optik memang sangat membantu, karena bilamana terjadi keragu-raguan atau kekeliruan dalam mencatat seluruh peristiwa dapat diulang kembali dengan memutar hasil rekaman. Aan tetapi sulit untuk dibantah bahwa penggunaan alat ini memerlukan dana yang cukup besar.
Dari uraian tentang alat pengumpul data dalam observasi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pencatatan pada dasarnya dilakukan dalam salah satu dari dua bentuk sebagai berikut :
a. Pencatatan berbentuk kronologis yaitu pencatatan yang dilakukan menurut urutan kejadian.
b. Pencatatan berbentu sistematik yakni pencatatan yang dilakukan dengan memasukkan tiap-tiap gejala yang diamati kedalam kategori tertentu, tanpa memperhatikan urutan terjadinya.
Di samping itu dapat pula dibedakan dua bentuk pencatatan dalam versi yang dicatat, yakni :
a. Pencatatan secara faktual, yakni pencatatangejala yang timbul sebagaimana adanya, tanpa interpretasi dari observer.
b. Pencatatan secara interpretatif, yakni pencatatan yang dilauan dengan memberian interprtasi dengan gejala yang timbul oleh observer yang berkewajiban memasukkan atau menggolongkan gejala yang diamatinya kedalam kategori yang telah ditetapkan.Selanjutnya pelaksanaan teknik observasi dapat dilakukan dalam beberapa cara. Penentuan dan pemilihan cara tersebut sangat tergantung pada situasi obyek yang akan diamati.


II. JENIS-JENIS OBSERVASI

1. Observasi Partisipan
Observasi Partisipan adalah suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh observer dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diobservasi. Observer berlaku sungguh-sungguh seperti anggota dari kelompok yang akan diobservasi. Apabila observer hanya melakukan pura-pura berpartisipasi dalam kehidupan orang yang akan diobservasi tersebut dinamakan Quasi Partisipant Observation. Dalam observasi partisipan perlu diperhatikan beberapa hal untuk meningkatkan kecermatan. Pertama adalah persoalan pencatatan yang harus dilakukan diluar pengetahuan orang-orang yang sedang diamati. Pencatatan yang diketahui akan menimbulkan kecurigaan bahwa pencatat bukan anggoa kelompok tersebut. Bilaman terjadi hal seperti itu kerap kali obyek yang diamati akan bertingkah laku tidak wajar karena mengetahui mereka sedang diamati. Kemungkinan ingkah lakunya dibuat-buat supaya dicatat sebagai tingkah laku yang baik atau sebaliknya dibuat-buat agar dikategorikan buruk.

2. Observasi Non Partisipan
Observasi Non Partisipan adalah dimana observer tidak ikut di dalam kehidupan orang yang akan diobservasi, dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Di dalam hal ini observer hanya bertindak sebagai penonton saja tanpa harus ikut terjun langsung ke lapangan.

3. Observasi Sistematik
Observasi Sistematik adalah observasi yang diselenggarakan dengan menentukan secara sistematik faktor-faktor yang akan diobservasi lengkap dengan kategorinya. Dengan kata lain wilayah materi observasi telah dibatasi secara tegas sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Umumnya observasi sistematik dilakukan dalam jangka waktu pendek. Oleh karena itu agar terkumpul data sebanyak mungkin, maka observasi ini memerlukan lebih dari seorang observer dan bilamana dimungkinkan dilengkapi pula dengan penggunaan alat pecatat mekanik (elektronik) meskipun ditinjau dari sudut pembiyaan yang biasanya cukup mahal.

4. Observasi Non Sistematik
Observasi Non Sistematik adalah observasi yang dilakukan tanpa terlebih dahulu mempersiapkan dan membatasi kerangka yang akan diamati.

5. Observasi Eksperimental
Observasi Eksperimental adalah dengan sengaja menimbulkan gejala tertentu untuk dapat diobservasi. Pengembangan metode ini makin lama makin intensif karena ternyata memang sangat besar kegunaanya. Dalam observasi ini dilakukan usaha mengendalikan unsur-unsur tertentu di dalam situasi yang akan diamati. Dengan kata lain situasi ini diatur sesuai dengan tujuan penelitian, untuk menghindari, atau mengurangi timbulnya faktor-faktor lain yang tidak diharapkan mempengaruhi situasi itu.
Observasi Eksperimental juga memiliki ciri-ciri yaitu,
a. Observer mambuat sesuatu perangsang berupa suatu situasi yang sengaja diselenggarakan di lingkungan obyek yang akan diobservasi.
b. Situasi perangsang itu harus memungkinkan terdapat variasi gejala yang timbul.
c. Observer harus diusahakan tidak mengetahui maksud sebenarnya dari observasi atau sekurang-kurangnya tentang maksud pengendalian faktor-faktor tersebut di atas.
d. Alat pencatat harus dipilh yang benar-benar mampu membuat catatan yang teliti mengenai gejala-gejala yang timbul.

6. Observasi Non Eksperimental
Observasi Non Eksperimental adalah observasi yang dilakukan dengan tidak menimbulkan gejala-gejala tertentu agar dapat diamati.



III. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN
A. Keunggulan
Kebaikan-kebaikan observasi sebagai teknik pengumpulan data antara lain adalah:
1. Sulit untuk dibantah kenyataan bahwa banyak gejala-gejala dalam kehidupan manusia yang hanya dapat diselidiki dengan melakukan observasi.
2. Banyak obyek yang dalam memberikan bantuan data hanya bersedia diobservasi, misalnya karena terlalu sibuk sehingga tidak mempunyai waktu yang cukup untuk di interviu atau mengisi kuesioner yang memerlukan waktu khusus.
3. Kejadian yang serempak dapat diamati dan dicatat secara serempak pula dengan memperbanyak observer.
4. Observasi tidak tergantung pada self report (kesediaan obyek untuk memberikan informasi tentang dirinya), sehingga data yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh penafsiran dan kejujuran obyek yang diselidiki.
5. Banyak kejadian-kejadian yang mungkin dipandang kecil atau remeh oleh obyek penelitian yang tidak dapat diungkapkan dengan mempergunakan alat pengumpulan data yang lain, ternyata sangat menentukan hasil penelitian dan hanya mungkin diungkapkan melalui observasi.

B. Kelemahan
Untuk meningkatkan kecermatan dalam mempergunakan teknik observasi guna mengumpulkan data, perlu diketahui beberapa keterbatasan atau kelemahannya, yaitu:
1. Observasi sangat tergantung pada kemampuan pengamatan dan mengingat dari observer. Kemampuan melakukan pengamatan dan mengingat seorang observer sebagai manusia ternyata dipengaruhi oleh beberapa aspek sebagai berikut:
a. Daya adaptasi.
Kemampuan menyesuaikan diri dengan obyek yang akan diamati sangat penting bagi terselenggaranya pengamatan yang efektif. Akan tetapi bilamana adaptasi ini dilakukan secara berlebih-lebihan, seseorang akan melupakan fungsinya sebagai pengamat sehingga tidak mampu menangkap fakta-fakta tentang obyeknya karena dipengaruhi oleh pendapatannya sendiri sebagai orang yang menjadi bagian dari obyek yang diamatinya.
b. Kebiasaan-kebiasaan
Setiap observer karena kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupannya memiliki pola-pola pengalaman tertentu. Dalam melakukan pengamatan pengalaman itu dipergunakan sebagai bahan apersepsi, yang sangat besar peranannya. Observer dalam melakukan interpretasi karena pengaruh pengalamannya kerap kali tidak mampu menangkap fakta-fakta sebagaimana adanya.
c. Keinginan.
Seorang observer sering dipengaruhi oleh keinginannya untuk memperoleh hasil tertentu dalam penelitiannya. Sehubungan dengan itu pengamatannya menjadi terbatas karena perhatiannya lebih terarah pada fakta-fakta yang sesuai dengan keinginannya dalam mencapai hasil tertentu.
d. Prasangka
Observer yang memiliki prasangka tertentu terhadap obyek yang diamatinya, tidak akan mampu melakukan pengamatan secara obyektif. Prasangka akan menjerumuskan seorang observer pada penafsiran palsu terhadap gejala-gejala atau fakta-fakta yang timbul.
e. Proyeksi
Seorang observer yang memiliki kecenderungan melemparkan kejadian-kejadian di dalam dirinya sendiri kepada obyek-obyek yang berada di luar, tidak akan mampu melakukan pengamatan secara baik. sering terjadi observer mengira telah menangkap sifat-sifat tertentu dari obyeknya, pada hal sebenarnya sifat-sifat itu adalah sifat-sifatnya sendiri.
f. Ingatan.
Tidak semua orang yang akan bertindak sebagai observer memiliki ingatan yang setia (tahan lama). Di samping itu tidak semua observer memiliki ingatan yang luas (dapat mencakup banyak hal). Sehubungan dengan itu dalam pencatatan data yang tidak dilakukan seketika, hasilnya sangat tergantung pada kemampuan ingatan observer. Dalam keadaan seperti itu sering terjadi:
1) Fakta-fakta yang dilupakan menjadi tidak tercatat sebagai data penelitian.
2) Fakta-fakta yang dilupakan diganti menurut interpretasi observer sendiri.
3) Fakta-fakta yang dilupakan cenderung diinterpretasikan sesuai dengan hasil yang diinginkan oleh observer sebagai peneliti.
Berdasarkan uraian di atas, mengingat alat yang dipergunakan dalam melakukan pengamatan adalah mata (penglihatan) dan telinga (pendengaran) di samping alat-alat lain yang dapat dipergunakan secara terbatas, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1) Observer harus meyakini bahwa penglihatan dan pendengarannya berfungsi secara baik, agar tidak satu pun data yang lepas dari pengamatannya.
2) Observer harus menyadari bahwa penglihatan manusia termasuk dirinya mempunyai kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu setiap observer sangat memerlukan alat pencatatan data yang efisien, untuk menghindari kelupaan bilamana hanya mempergunakan mata dan telinga.
3) Observer harus menyadari bahwa tidak semua alat sama baiknya untuk melakukan pencatatan.
g. Keadaan fisik dan psikis terutama perasaan.
Observer yang berada dalam kondisi fisik letih, sakit, mengantuk, sedih, marah dan lain-lain sulit untuk melakukan pengamatan yang cermat.

2. Dalam membuat pencatatan dapat terjadi beberapa kelemahan sebagai berikut:
a. Pengaruh Kesan Umum (Hallo Effects)
Kesesatan ini terjadi jika observer terpengaruh oleh kesan umum mengenai obyek yang diamatinya sehingga membuat catatan secara tidak tepat. Misalnya observer dipengaruhi oleh sikap sopan dan penampilan yang rapi dari obyeknya, sehingga cenderung memberikan penilaian yang tinggi terhadap gejala yang diamatinya, walaupun sesungguhnya keadaan gejala itu sebenarnya tidaklah demikian. Sebaliknya dapat terjadi karena penampilan yang tidak rapi, sikap yang agak kasar dan lain-lain dapat mempengaruhi pencatatan berupa penilaian yang rendah terhadap gejala yang diamati obyek pengamatannya.
b. Pengaruh Keinginan Menolong (Generosity Effects)
Kesesatan ini dapat terjadi karena keinginan untuk berbuat baik terhadap obyek yang diamati, dalam bentuk kecenderungan untuk memberikan penilaian yang menguntungkan walaupun keadaan gejala yang diamati itu sebenarnya tidaklah demikian.
c. Pengaruh Pengamatan Sebelumnya (Carry Over Effects).
Kesesatan ini dapat terjadi karena observer tidak dapat memisahkan kesannya tentang suatu gejala yang terdahulu pada saat mengamati gejala berikutnya atau gejala yang lain. Suatu gejala dinilai tidak baik karena gejala sebelumnya dinilai juga tidak baik, sungguh pun kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Demikian pula dapat terjadi yang sebaliknya.

3. Banyaknya kejadian atau keadaan obyek yang sulit untuk diobservasi, terutama yang menyangkut kehidupan pribadi yang sangat rahasia. Di samping itu kerap kali terjadi munculnya suatu gejala yang akan diamati tidak pada saat pengamatan dilakukan. Dengan kata lain suatu kejadian tidak selalu dapat diramalkan, untuk menetapkan waktu melakukan observasi yang tepat, sehingga diperlukan waktu yang cukup panjang.

4. Observer yang mengetahui dirinya sedang diobservasi, cenderung dengan sengaja menimbulkan tingkah laku yang menyenangkan atau yang baik. Sebaliknya mungkin pula dengan sengaja menimbulkan tingkah laku yang tidak menyenangkan atau yang tidak baik. kesengajaan itu dimaksudkan untuk menyesatkan observer yang tidak diinginkan kehadirannya karena bermaksud mengungkapkan keadaan atau gejala yang sebenarnya dirahasiakan oleh obyek yang diselidiki.

5. Banyak gejala yang hanya dapat diamati dalam kondisi lingkungan yang tertentu, sehingga kalau terjadi gangguan yang tiba-tiba mengakibatkan observasi tidak dapat dilaksanakan. Misalnya gangguan cuaca, gangguan aliran listrik dan lain-lain. Di samping itu waktu berlangsungnya suatu kejadian berpengaruh juga pada kemungkinan dilakukannya pengamatan. Banyak kejadian yang berlangsung dalam jangka waktu yang sangat pendek dan tidak berulang atau terjadi secara serempak pada beberapa tempat dan bahkan mungkin pula berlangsung bertahun-tahun sehingga memerlukan pengamatan yang lama dan membosankan.
Hasil observasi juga dapat dipengaruhi oleh bias yang terjadi, yaitu:
a. Bias Observer (Pengamat)
• Bias pengamat terjadi bila bias peneliti menentukan perilaku mana yang mereka pilih untuk diobservasi dan bila ekspektansi pengamat tentang perilaku mengakibatkan kesalahan sistematis dalam mengidentifikasi dan mencatat perilaku.
• Efek-efek ekspektansi dapat terjadi bila pengamat mengetahui hipotesis-hipotesisnya untuk hasil studi itu atau hasil studi-studi sebelumnya.
• Langkah pertama dalam mengontrol bias pengamat adalah dengan mengakui bahwa hal itu dapat terjadi.
Rosenhan (1973) dan rekan-rekan sejawatnya dengan mengobservasi interaksi antara anggota staf dan pasien di rumah sakit mental, dan mereka menemukan sebuah bias serius di pihak staf. Begitu pasien diberi label skizofrenik, perilaku mereka diinterpretasi berdasarkan label ini. Para anggota staf menginterpretasikan perilaku yang mestinya dianggap normal bila dilakukan oleh orang-orang waras sebagai bukti ketidakwarasan. Sebagai contoh, para peneliti baru mengetahui setelah studi it selesai bahwa penulisan catatan oleh pengamat partisipan, yang dilakukan secara terbuka, oleh para anggota staf dikatakan sebagai contoh keadaan patologis. Jadi, staf rumah sakit itu cenderung menginterpretasikan perilaku pasien dalam kaitannya dengan label yang telah dilekatkan kepada mereka. Sampel ini mengilustrasikan dengan jelas tentang bahaya potensial dari bias pengamat ini, kesalahan sistematis dalam observasi yang diakibatkan oleh ekspetasnsi pengamat.

b. Efek ekspektansi
Pada banyak studi ilmiah, pengamat memiliki ekspektansi tertentu tentang seperti apa mestinya perilaku dalam situasi tertentu atau setelah menerima penanganan psikologis tertentu. Ekspektansi ini dapat tercipta akibat pengetahuan tentang hasil-hasil penelitian sebelumya atau oleh hipotesis si pengamat sendiri tentang perilaku dalam semacam itu. Ekspektansi dapat menjadi salah satu sumber bias di pihak pengamat – expectancy effects- bila hal itu menyebabkan timbulnya berbagai sistematis dalam observasi (Rosenthal, 1966, 1976).
Cordaro dan Ison (1963) merancang sebuah studi untuk mendokumentasikan efek-efek ekspektansi. Studi itu mengharuskan para mahasiswa yang bertindak sebagai pengamat untuk mencatat jumlah putaran kepala dan kontraksi tubuh yang dilakukan oleh dua kelompok cacing datar. para pengamat diarahkan untuk mengharapkan jumlah putaran kepala dan kontraksi yang berbeda pada kedua kelompok itu. Tetapi, cacing-cacing di kedua kelompok itu pada dasarnya identik. Yang berbeda adalah ekspektansi pengamat tentang sesuatu yang akan mereka lihat. Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa para pengamat itu melaporkan jumlah putaran kepala dua kali lebih banyak dan jumlah kontraksi tubuh tiga kali lebih banyak bila jumlah gerakan yang tinggi diekspektansikan dibanding bila jumlah gerakan yang rendah diekspektansikan. Agaknya, para mahasiswa itu menginterpretasikan gerakan-gerakan cacing-cacing itu bergantung yang mereka ekspektansikan untuk dilihat.



c. Bias-Bias Lain
Ekspektansi seorang pengamat tentang hasil sebuah studi mungkin bukan satu-satunya sumber bias pengamat. Anda mungkin berpikir bahwa dengan menggunakan peralatan terotomasi seperti kamera film akan mengeliminasi bias pengamat. Meskipun otomasi mengurangi peluang bias pengamat, tetapi bukan berarti mengeliminasinya. Simak kenyataan bahwa, untuk merekam perilaku di atas film, pengamat harus menentukan sudut pengambilan, lokasi, dan waktu pemfilman. Sejauh aspek-aspek studi ini dipengaruhi oleh bias pribadi pengamat, keputusannya dapat mengintroduksikan berbagai kesalahan sistematis pada hasil-hasilnya. Altmann (1974) mendeskripsikan sebuah studi observasional terhadap perilaku binatang yang para pengamatnya membiaskan hasil-hasilnya dengan mengambil waktu istirahat tengah hari ketika binatang-binatang itu dalam keadaan tidak aktif. Observasi terhadap binatang selam periode tidak aktif ini secara mencolok mata tidak ada dalam catatan observasi. Lebih jauh, dengan menggunakan peralatan terotomasi pada umumnya hanya menunda proses klasifikasi dan interpretasi, dan sangat mungkin bagi efek-efek bias pengamat untuk terintroduksi ketika rekaman naratifnya dikode dan dianalisis.

Referensi
Nawawi, H. Hardari dan H. M. Martini Hardari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nawawi, Hardari. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Shaughnessy, J. John, B. Zeshmeister Eugene, dan S. Zeshmeister Jeune. 2007. Metodologi Penelitian Psikologi. Edisi VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jenis-jenis Motif pada Manusia

1. Motif Fisiologis
Dorongan atau motif fisiologis umumnya berakar pada keadaan jasmani, misal dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan seksual, dorongan untuk mendapatkan udara segar. Dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk hidup. Motif ini sering disebut juga sebagai motif dasar (basic motives) atau motif primer (primary motives), karena motif atau dorongan ini berkaitan erat dengan pertahanan eksistensi kehidupan.
Pada umunya motif ini timbul karena tidak adanya balans atau keseimbangan dalam tubuh. Mekanisme fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan ini dilengkapi dengan regulator atau motivated behavior. Misal udara dingin, keadaan ini mendorong manusia untuk mencari kehangatan, mencari selimut, atau benda-benda lain sebagai penghangat. Apabila orang merasa haus maka dia akan mencari minum untuk menyeimbangkannya.
Walaupun motif fisiologis merupakan motif alami, motif dasar, tetapi dalam manisfestasinya akan dipengaruhi pula oleh proses belajar. Misal apabila lapar, adanya dorongan atau motif untuk makan. Tetapi bagaimana cara makan dan apa yang akan dimakan sangat dipengaruhi oleh proses belajar, demikian yang lain-lainnya. Maka proses belajar merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan motif, juga dalam tujuan serta dalam kebutuhan-kebutuhan.

a. Tujuan yang dipelajari (learned goals)
Hewan dan manusia kadang belajar mencapai tujuan yang tidak langsung berkaitan dengan pemuasan kebuuhan biologis. Tujuan semacam ini sering disebut sebagai tujuan yang dipelajari (learned goals) atau tujuan sekunder (secondary goals).
Hewan yang lapar membutuhkan makanan. Makanan merupakan tujuan yang primer. Namun secara eksperimen makanan tersebut disajikan dengan bunyi bel. Hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang. Sehingga pada saat bunyi bel tanpa adanya makanan air liur binatang akan terangsang keluar. Bunyi bel merupakan tujuan sekunder atau penguat sekunder (secondary reinforcement), sedangkan makanan adalah tujuan utamanya atau penguat primer (primary reinforcement). Manusia bekerja untuk mendapatkan uang, karena dengan uang manusia dapat membeli makanan. Makanan adalah tujuan primer, sedangkan uang adalah tujuan yang dipelajari atau secondary goal. Setelah dia bekerja keras dan mendapatkan uang ternyata motif yang lain juga ikut berperan. Dengan bekerja keras dia mendapatkan prestasi yang menyenangkan, ini berkaitan dengan kebutuhan prestasi (n-achievement). Dengan bekerja keras juga dia mendapatkan banyak teman, ini berkaitan dengan kebutuhan akan afiliasi. Hal ini menggambarkan bahwa dengan satu kegiatan akhirnya dapat memuaskan atau memenuhi motif-motif yang lain.

b. Motif dan kebutuhan yang dipelajari
Stimulus atau situasi dapat menimbulkan drive state melalui proses belajar. Orang akan lapar bukan karena dia memang lapar akan tetapi karena waktu atau karena ada makanan enak yang menimbulkan rasa lapar. Dengan kata lain keadaan lapar dapat dikondisioning, yaitu dengan proses belajar soal waktu atau melihat makanan yang enak.

2. Motif Sosial
Motif sosial merupakan motif yang kompleks, dan merupakan sumber dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Motif ini dipelajari dalam kelompok sosial (social group), walaupun menurut Kunkel dalam diri manusia ada dorongan alami berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain itu berbeda-beda, maka dengan itu memahami motif sosial adalah hal yang paling penting agar kita mendapatkan gambaran tentang perilaku individu dan kelompok. McClelland membedakan motif sosial dalam (1) motif berprestasi (achievement motivation) atau juga disebut need for achievement (n-achievement); (2) motif berafiliasi atau juga disebut kebutuhan afiliasi; (3) motif berkuasa atau kebutuhan berkuasa.

a. Kebutuhan akan prestasi
Orang yang mempunyai kebutuhan prestasi akan meningkatkan performance, sehingga akan terlihat kemampuan prestasinya. Untuk mengungkap kebutuhan prestasi dapat dilakukan dengan teknik proyeksi. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mempunyai motif prestasi tinggi akan mempunyai performance yang lebih baik dari pada orang yang motif prestasinya rendah. Maka dapat dikemukakan bahwa untuk memprediksi bagaimana performance seseorang dilihat bagaimana n-achievement-nya. Penelitihan juga menunjukkan bahwa motif prestasi berkorelasi sebesar 0,40 dengan inteligensi (Morgan, dkk., 1984).

b. Kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain
Afiliasi menunjukkan bahwa seseorang membutuhkan hubungan dengan orang lain. Orang yang kuat kebutuhan afiliasinya akan selalu mencari teman, dan juga mempertahankan hubungan yang telah dibina dengan orang lain tersebut. Sebaliknya apabila kebutuhan afiliasinya rendah maka orang akan segan berhubungan dengan orang lain dan hubungan yang terjadi tidak akan dibina dengan baik agar dapat bertahan.

c. Kebutuhan akan kekuasaan
Kebutuhan akan power atau kekuasaan timbul dan berkembang didalam interaksi sosial. Orang yang mempunyai kebutuhan kekuasaan yang tinggi akan mengadakan kontrol, mengendalikan atau memerintah orang lain. Menurut McClelland ada beberapa macam cara mengekspresikan power need ini, yaitu:
1. Seseorang mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan perasaan dari power dari luar dirinya. Misal untuk menyatakan kebutuhan ini ia membaca tentang sport, yang menggambarkan tentang kekuasaan atau keperkasaan.
2. Seseorang mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan power ini dari sumber yang ada dalam dirinya sendiri. Misal dengan mengoleksi senjata, mengoleksi mobil, dan sebagainya.
3. Seseorang berbuat sesuatu untuk mendapatkan pengaruh terhadap orang lain. Seseorang membantah terhadap orang lain atau melawan dengan sedemikian rupa dengan orang lain, untuk dapat mempengaruhi orang lain tersebut.
4. Seseorang berbuat sesuatu misal masuk dalam organisasi atau perkumpulan, dengan maksud agar ia dapat mempengaruhi orang lain.

3. Teori Kebutuhan dari Murray
Murray mengemukakan suatu daftar dari dua puluh kebutuhan yang pada umumnya mendorong manusia untuk bertindak atau berperilaku. Kebutuhan tersebut sangat bervariasi, diantaranya mengandung kebutuhan yang berlawanan satu dengan yang lain, ,misalnya kebutuhan akan nurturance, yaitu kebutuhan untuk memberikan care, untuk memberikan asuhan, dan kebutuhan succorance (n-succorance), yaitu kebutuhan untuk menerima asuhan. Kebutuhan-kebutuhan atau motif-motif yang dikemukakan Murray adalah sebagai berikut:
a. Merendah atau merendahkan diri (abasement).
b. Berprestasi (achievement).
c. Afiliasi, yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain.
d. Agresi (sikap melukai orang lain).
e. Otonomi (kebebasan berpendapat/ tidak tergantung dengan orang lain).
f. Counteraction, yaitu motif yang berusaha mengatsi kegagalan-kegagalan.
g. Pertahanan (mempertahankan diri).
h. Hormat.
i. Dominasi, yaitu sikap ingin menguasai orang lain.
j. Ekshibisi atau pamer, yaitu motif yang berkaitan dengan menonjolkan diri.
k. Penolakan kerusakan, yaitu motif yang menolak hal-hal yang merugikan.
l. Infavoidance, yaitu yang berkaitan dengan menghindari hal-hal yang memalukan.
m. Memberi bantuan.
n. Teratur, yaitu menunjukkan keteraturan dalam segala hal.
o. Bermain, yaitu menghindari hal-hal yang menegangkan.
p. Menolak, yaitu menolak pihak lain atau orang lain.
q. Sentience, yaitu mencari kesenangan terhadap impresi yang melalui alat indera.
r. Seks, yaitu yang berhubungan dengan seksual.
s. Bantuan atau pertolongan, yaitu untuk memperoleh simpati atau bantuan orang lain.
t. Mengerti, yaitu untuk menganalisis pengalaman.
Atas dasar teori Murray timbul suatu macam test kepribadian yang dikembangkan oleh Edwards yang kemudian dikenal dengan tes Edwards Personal Preference Schedule atau tes EPPS.

4. Motif Eksplorasi, kompetensi, dan Self-aktualiasai
a. Motif eksplorasi dari Woodworth dan Marquis
Motif eksplorasi ini adalah motif ingin tahu (curiousity motive). Pada dasarnya manusia terdorong ingin mengetahui tentang segala sesuatu yang ada disekitarnya, disampin itu juga adanya motif untuk mendapatkan perubahan dari stimulasi sensoris.
Menurut Woodworth dan Marquis (1957) terdapat adanya bermacam-macam motif, yaitu (1) motif yang berkaitan dengan kebutuhan organis; (2) motif darurat (emergence motive); dan (3) motif objektif dan minat (interest).
Motif organis adalah motif yang berkaitan dengan kebutuhan yang bersifat organis, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup organisme. Misalnya kebutuhan untuk makan, minum, seksual, kebutuhan untuk aktif dan istirahat. Motif darurat merupakan motif yang bergantung pada keadaan disekitar atau diluar organisme. Misalnya ketika orang menghadapi bahaya, maka orang tersebut didorong untuk melepaskan diri dari bahaya tersebut. Motif darurat ini terdiri dari beberapa motif, yaitu (a) escape motive, yaitu motif yang ada pada organisme untuk melepaskan diri dari bahaya; (b) motif melawan (combat motive), yaitu motif yang timbul karena organisme mendapatkan serangan maka organisme akan melawan; (c) motif untuk menghadapi hambatan, yaitu apabila individu mendapatkan hambatan maka akan ada motif untuk mengatasi hambatan tersebut; (d) motif mengejar atau mencari (the pursuit motive), yaitu apabila seorang anak diberi permainan baru, yang kemudian permainan tersebut disingkirkan maka pada anak akan timbul motif untuk mencari atau mengejarnya. Motif objektif dan minat merupakan motif yang bergantung juga pada lingkungan oganisme. Termasuk dalam motif ini ialah (a) motif eksplorasi, seperti yang dijelaskan diatas; (b) motif manipulasi, yaitu motif organisme untuk mengadakan manipulasi atau menguasai keadaan disekitarnya; (c) minat, yaitu motif yang timbul karena organisme tertarik pada objek sebagai hasil eksplorasi.
b. Motif kompetensi (competance motive)
Motif kompetensi ini ialah berkaitan dengan motif intrinsik, yaitu kebutuhan seseorang untuk kompetensi dan menentukan sendiri dalam kaitan dengan lingkungannya. Disebut intrinsikkarena tujuanna ialah perasaan internal mengenai kompetensi dan self-determinasi.
c. Motif aktualisasi diri (self-actualization) dari Maslow
Motif aktualisasi diri merupakan moti yang berkaitan dengan kebutuhan atau dorongan untuk mengaktualisasikan potensi yang ada pada diri individu. Hal ini bervariasi dari orang satu dengan yang lain. Seseorang ingin mengaktualisasi dibidang politik, yang lain dalam bidang ilmu, sedangkan yang lain lagi dalam bidang yang berbeda.
Kebutuhan aktualisasi diri ini adalah kebutuhan yang tertinggi dalam hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow. Jika diurutkan kebutuhan tersebut, maka kebutuhan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri; kebutuhan akan penghargaan seperti kebutuhan akan prestige, sukses, dan harga diri; kebutuhan belonging dan kasih sayang, seperti misalnya kebutuhan akan afeksi, afiliasi, identifikasi; kebutuhan rasa aman, seperti tenteram, teratur, kepastian; kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang pertama dan utama, sedangkan kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang paling tinggi.

GEORGE WILHELM FRIEDRICH HEGEL

Riwayat Hidup GWF. Hegel
GWF. Hegel lahir di kota Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770, dari sebuah pegawai negeri sipil. Pada usia 18 tahun yaitu pada tahun 1788, dia menjadi mahasiswa teologi di Universitas Tübingen. Dalam usia dua puluh tahun dia meraih ijazah filsafatnya, dan tiga tahun kemudian menyelesaikan studi teologinya. Sesudah meninggalkan Tübingen, dia menjadi seorang tutor pada keluarga bangsawan di Bern, Swiss yaitu pada tahun 1797. Pada masa-masa ini, antara tahun 1793-1800, dia menghasilkan tulisan-tulisan teologisnya. Istilah “teologi” Hegel disini jangan dipahami lepas dari filsafat, bahkan bagi Hegel filsafat adalah sebuah teologi dalam arti menyelidiki yang absolut.
Pada tahun 1801, Hegel mengajar di Universitas Jena. Di sini dia bekerja sama dengan Schelling dalam penyuntingan sebuah jurnal filsafat. Di sini juga dia menerbitkan adikaryanya yang termasyhur, Die Phanomenologie des Geistes (fenomenologi roh). Sesudah itu dia menjabat selaku rektor di Gymnasium kota Nuremberg. Di kota ini dia menerbitkan Wissenschaft der Logik (ilmu pengetahuan logika). Reputasinya sebagai seorang filsuf meningkat ketika dia mengajar di Heidelberg. Di situ dia menerbitkan karya sistematis dan komprehensifnya, Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften im Grundriss (Ensiklopedia ilmu filsafat dalam ringkasan). Sesudah itu, tahun 1818, dia mengajar di Berlin. Di situ dia menerbitkan karyanya, Grundlinien der Philosophie des Rechts (Garis Besar Filsafat Hukum). Kemudian Hegel meninggal pada tahun 1831.

Biografi
1770 : Lahir di Stuttgart pada tanggal 27 agustus
1788 : Studi Teologi di Tübingen
1793 : Lulus, lalu pindah ke Bern, Swiss selama 3 thn
1797 : Mengajar Privat di Frankfurt atas bantuan Hölderlin
1801 : Mengajar di Jena sampai 1806, habilitasi tentang astronomi
1801 : Terbit Differenz des Fichteschen und Schellingschen
Systems der Philosophie
1807 : Terbit Phaenomenologie des Geistes di Bamberg
1808 : Menjabat rektor di Gymnasium Nuremberg sampai 1816
1812 : Terbit Wissenschaft der Logik
1817 : Terbit Enzyklopaedie der philosophischen Wissenschaft
im Grundrisse untuk bahan kuliahnya
1820 : Terbit Grundlinien der philosophie des Rechts
1831 : Meninggal di Berlin tanggal 14 November
Minat Awal Hegel pada Tema Alienasi dan Pemulihannya
Dalam pandangannya tentang agama, Hegel mempersoalkan paham agama yang disebarkan oleh Pencerahan, yaitu bahwa agama Kristen adalah sebuah agama rasional. Menurutnya, agama rasional seperti itu justru membuat para penganutnya tercerabut dari semangat kebudayaan Jerman. Yang diidam-idamkan Hegel sebenarnya adalah agama seperti yang dianut kebudayaan Yunani. Agama Yunani kuno itu berakar pada semangat rakyat dan terintegrasi dalam kebudayaan Yunani. Agama Yunani adalah sebuah Volksreligion (agama rakyat), yaitu sebuah agama yang rasional, namun tetap berakar dalam semangat rakyat. Meski demikian, ada juga kekurangan pada agama Yunani, yaitu kurang merenungkan moralitas, dan menurut Hegel, agama Kristen melengkapi ini. Dengan demikian ide normatif Hegel adalah sebuah agama yang menjadi “totalitas etis” yang mencakup baik kejeniusan maupun semangat rakyat Jerman.
Hegel mengatakan bahwa manusia di sini terasing bahkan dari Allah sendiri. Alienasi dalam agama ini, dalam Katolisisme, dipulihkan lewat kepercayaan akan sakramen-sakramen. Dalam Der Geist des Christentums und sein Glauben (semangat Kekristenan dan kepercayaannya), tema alienasi dan pemulihan juga muncul dengan cara lain. Dalam agama Yahudi, menurutnya, Allah adaah Tuan, sedangkan manusia adalah budak yang melaksanakan perintah-Nya. Hubungan seperti itu adalah alienasi, dan menurut Hegel, alienasi ini diatasi dalam agama Kristen yang memandang Allah itu kasih, maka keterasingan manusia dari Allah dan dari sesamanya disembuhkan oleh kesatuan kasih.

Pengatasan Oposisi sebagai Masalah Dasar Filsafat
Hegel berpendapat bahwa tujuan dasariah filsafat adalah mengatasi oposisi-oposisi. Dalam pengalaman sehari-hari pikiran kita hanya menangkap kemajemukan, pertentangan, kontradiksi, dst. Pikiran misalnya, menghadapi soal dualisme jiwa dan badan, atau kontradiksi antara subyek dan obyek, alam dan roh, yang terbatas dan yang tidak terbatas. Oposisi-oposisi macam itu tidak memuaskan pikiran, dan menurut Hegel kepentingan dasariah dari rasio (Vernunft) adalah mengusahakan kesatuan utuh dari oposisi-oposisi itu. Dengan kata lain, rasio ingin selalu mencapai Yang Absolut. Karena itu, Hegel ingin merumuskan Yang Absolut itu secara filosofis. Untuk itu dia menjumpai sebuah masalah: kalau mau dirumuskan secara filosofis, tidak ada jalan lain kecuali lewat refleksi, padahal refleksi termasuk ke dalam intelek (Verstand) yang beroperasi dengan data indrawi. Hegel mengatakan masalah itu dengan mengangkat refleksi akan Yang Absolut itu ke taraf rasio (Vernunft) atau intuisi intelektual. Disini dia menggabungkan refleksi dan intuisi menjadi spekulasi filosofis.
Yang Absolut atau “Roh”, “Idea”, “Rasio”
Titik tolak bagi idealisme Hegel kemudian adalah Yang Absolut (das Absolute). Yang Absolut adalah totalitas, seluruh kenyataan. Hegel memahami seluruh kenyataan ini sebagai sebuah “proses menjadi”. Dalam arti ini setuju dengan Schelling, dia memahami kenyataan sebagai sebuah proses teleologis. Yang Absolut tidak hanya dipahami sebagai seluruh proses itu, melainkan juga tujuan (telos) dari proses itu sendiri. Hegel lalu memahami Yang Absolut itu sebagai subyek. Kalau dia itu subyek, tentu ada obyeknya. Menurut pemahaman Hegel, obyek adalah dirinya sendiri. Dalam arti ini, Yang Absolut adalah “Pikiran yang memikirkan dirinya sendiri”, “subyek yang menyadari dirinya sendiri”. Dengan kata lain, Yang Absolut itu adalah Roh.
Sejarah filsafat adalah proses bagaimana Yang Absolut itu menyadari dirinya sendiri. Karena itu Hegel juga menyebut Yang Absolut itu sebagai idea, logos, dan Rasio. Akan tetapi Rasio atau Idea jangan dipahami sebagai pikiran individual, melainkan sebagai seluruh realitas yang memikirkan dirinya sendiri. Untuk menegaskan maksud ini, Hegel merumuskan sebuah asas yang termasyur dalam prakata bukunya tentang negara: “Was vernünftig ist, das ist wirklich; und was wirklich ist, das ist vernünftig” (“Semua yang rasional itu real dan semua yang real itu rasional”). Maksudnya, Rasio sama luasnya dengan seluruh realitas, maka realitas adalah proses pemikiran atau Idea.

Sistem Hegel
Sistem Hegel terdiri dari logik, filsafat alam dan filsafat roh. Logika menjelaskan ide sebagai Ding an Sich (benda dalam dirinya). Seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan roh. Sesuai dengan hukum dialektika roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada Yang mutlak. Filsafat alam menjelaskan alam sebagai roh yang mengasingkan diri dan menjadi hal lain. Filsafat roh menjelaskan ide yang pulang pada dirinya sendiri.

a.LOGIK
Logik mencoba menangkap Roh sebagai Universum Pikiran Murni atau lukisan Tuhan sebelum menciptakan alam. Logik terdiri dari tiga bagian : Logik des Seins, Logik des Wesens dan Logik des Begriffs. Logik des Seins dan Logik des Wesens ialah logik obyektif yang disebut Logik dan Begriffs ialah logik subyektif. Logika obyektif ialah hal yang sebelum Hegel disebut metaphysika, ilmu tentang hal mengada sebagai hal mengada.
Isi dari Logik ialah :
A. Logik des Seins :
Qualitas, Hal Mengada, Hal Tak Mengada, Dasein, Hal Terbatas, Hal Tak Terbatas, Fur Sich Sein , Satu, Banyak.
Quantitas.
Ukuran.
B. Logik des Wesens
Essensi sebagai dasar Eksisteni
Erscheinung
Kenyataan
C. Logik des Begriffes
Pengertian subyektif
Obyek.

b.FILSAFAT ALAM
Res Extensa res cogitans dari Descartes diganti Hegel dengan :
Mekanika (ruang waktu, gerakan, materi, gravitasi)
Fisika (bintang-bintang, unsur-unsur, kohesi, bunyi, panas, kimia)
Organika (zoologi, botani).
Menurut Hegel dapat dikatakan bahwa Alam ialah “das Anders Sein” dari Ide.
Hal mengada lain dari ide.
Mengapa Tuhan mau membuka Dirinya dalam hal yang rendah? Hegel menjawab : Die Gottliche Idee ist eben dies, sich zu entschlieszen, dieses Andere zu sein aus sich heraus zu setzen und wieder in sich zuruck zu nehmen um Subjektiviteit und Geist zu sein.
Alam menurut Hegel ialah proses dunia, dinamika alam. Abad ke 19 ialah zaman ilmu-ilmu historis di segala bidang pengetahuan. Ilmu alam ialah ilmu sejarah materi. Dinamika itu mempunyai tujuan, bukan evolusi yang buta (Darwin) melainkan suatu riwayat yang logis.
Alam adalah rohani: was wirklich ist ist vernunftig, was vernunftig ist ist wirklich. Hegel mencari kesatuan dalam perubahan, dalam hal yang berubah dia cari hak yang permanen.

c.FILSAFAT ROH (Phenomenologie des Geistes)
Filsafah Roh mengikuti Filsafah Alam karena Roh ialah tujuan dari perkembangan alam. Roh ialah ide yang telah pulang pada dirinya dan bertingkat-tingkat.
Roh yang subyektif (anthropologi, fenomenologi psikologi)
Roh yang obyektif (hak, susila, morilatif)
Roh Absolut (kesenian, agama, filsafah)
Yang paling masyhur ialah yang ditulis Hegel tentang Undang-Undang, hak-hak, susila dan moralitas. Dasar dan tujuan dari segala gejala ini ialah KEMERDEKAAN.
Menurut Hegel yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan diri dalam alam, dengan maksud supaya dapat sadar akan dirinya sendiri. Hakekat roh adalah ide atau pikiran. Pikiran menjadi sadar akan dirinya sendiri didalam sejarah umat manusia. Oleh karena itu manusia mendapat bagian dari ide yang mutlak itu, yang adalah Yang Ilahi.
Hegel pernah mengatakan bahwa sejarah ialah perkembangan roh dalam waktu. Bagi Hegel roh adalah perkembangan Negara-negara, kebudayaan-kebudayaan dan lembaga-lembaga (roh obyektif).
Menurut Hegel dialektika bersifat ontologis, bahwa proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses gerak kenyataan. Oleh karena itu pengertian-pengertian, kategori-kategori, sebenarnya bukanlah hukum-hukum pemikiran belaka, tetapi kenyataan-kenyataan, realita. Pengertian-pengertian dan kategori-kategori dan lain-lainnya itu, bukan hanya hal-hal yang menyusun pemikiran kita, tetapi semuanya itu adalah kerangka dunia, artinya: semua itu menggambarkan hakekat dunia dalam pikiran.
Tesis pertama yang dikemukakan Hegel adalah suatu pengertian yang paling umum, yaitu “yang ada”. Sebagai pengertian umum “yang ada” ini sama dengan “yang tidak ada”. Oleh karena itu sebagai hal yang tidak dapat dirumuskan bagaimana, “yang ada” itu sekaligus adalah “yang tidak ada”, atau “ketiadaan”, yaitu segi negatif dari “yang ada”.
Jikalau “yang ada” mewujudkan tesis, dan “yang tidak ada” mewujudkan antitesis, maka “menjadi” adalah sintesisnya. Sebab didalam “menjadi” itu keduanya, “yang ada” dan “yang tidak ada” dipersatukan dalam dataran yang lebih tinggi.
Hegel mencoba mengerti bahwa sintesis yang mutlak antara subyek dan obyek bukanlah hal yang terbatas yang telah menjadi tidak terbatas di seberang sana, yaitu di seberang hidup ini, melainkan suatu “keberadaan” didalam “ketiadaan”, suatu menjadi di dalam “yang mutlak”. Dengan demikian refleksi itu meniadakan diri sendiri dan meniadakan segala keterbatasan. Oleh karena itu “yang mutlak” adalah suatu totalitas, dimana tiap hal dalam asasnya telah tercakup, dimana tiap bagian sekaligus mewujudkan keseluruhan.
Di dalam sintesis baik tesis maupun antitesis bukan dibatasi (seperti pendapat Fichte), melainkan aufgehoben. Kata Jerman aufgehoben mempunyai tiga arti, yaitu :
a.mengesampingkan (umpamanya suatu undang-undang dikesampingkan).
b.merawat, menyimpan, jadi tidak ditiadakan, melainkan dirawat dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi dan terpelihara.
c.ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi, dimana keduanya (tesis dan antitesis) tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucilkan.
Di dalam hidup sehari-hari ada banyak teladan tentang apa yang dimaksud oleh Hegel ini: suatu pandangan yang ekstrim kekanan menimbulkan suatu reaksi yang ekstrim kekiri, yang kemudian menelorkan suatu kompromi yang menyelaraskan keduanya itu. Umpamanya: golongan yang satu menghendaki supaya Negara menguasai agama. Pandangan ini mengandung didalamnya hal yang positif baik, yaitu bahwa ada kesatuan di antara kekuatan dan kekuasaan politik, sehingga tata tertib nasional terjamin. Segi yang negatif yang tidak baik ialah, bahwa kebebasan agama ditiadakan. Agama harus tunduk kepada pemerintah. Pandangan yang demikian itu membangkitkan reaksi, yang menghendaki supaya agama menguasai Negara. Keuntungan pandangan ini, yang mewujudkan segi yang positif, ialah bahwa kebebasan agama terjamin, artinya: agama dapat mngatur diri sesuai dengan hakekat dan sifat-sifatnya. Akan tetapi segi yang negatif ialah adanya kemungkinan kebebasan agama itu hanya berlaku bagi satu agama saja. Selain daripada itu kekuasaan di Negara tidak sama dengan kekuatan yang real, sehingga tatatertib nasional dapat goyah. Jikalau pandangan yang pertama tadi mewujudkan tesisnya, maka pandangan yang kedua adalah antitesisnya. Sintesis bagi kedua pendapat itu adalah pandangan yang menghendaki perpisahan diantaran agama dan Negara. Keduanya, baik agama maupun Negara, harus diberi tugasnya sendiri-sendiri dibidangnya sendiri-sendiri. Segi yang positif, yang baik dari pandangan ini adalah, bahwa tatatertib nasional terjamin, sedang kebebasan agama terjamin bagi semua agama. Baik kekuasaan maupun kekuatan politik berada ditangan yang sama.
Sesudah Hegel pengikut-pengikutnya dibagi dua sayap : Rechts Hegelianer (sayap kanan) dan Links Hegelianer (sayap kiri). Sayap kanan yaitu, Mohler dan Gunther. Sayap kiri yaitu, Franz Strausz, Gabler, Hinrichs, Goschel, Bruno Bauer, Ruge, Feuerbach, Stirner, Engels dan Marx.

KRITIKAN DARI FILSUF LAIN
Feuerbach mengatakan, bahwa manusia harus dipandang sebagai Gattung, sebagai makhluk alamiah. Oleh karena itu segala pengertian spekulatif seperti yang dikemukakan Hegel harus ditolak, sebab hanya apa yang nyatalah yang benar. Pendapat itu juga di setujui oleh Karl Marx. Feuerbach dan Marx juga berpendapat bahwa agama adalah hasil proyeksi keinginan manusia, akan tetapi Marx berpikir lebih lanjut, dan bertanya mengapa timbul keinginan-keinginan tertentu di tengah-tengah kelompok manusia tetentu itu ? Jawabannya didapatkan didalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Perasaan-perasaan dan gagasan-gagasan keagamaan adalah hasil suatu bentuk masyarakat tertentu. Jikalau kita membicarakan manusia, tidak boleh kita membicarakannya sebagai tokoh yang abstrak, yang berada diluar dunia ini. Manusia berarti dunia manusia, yaitu Negara, masyarakat. Negara, masyarakat inilah yang menghasilkan agama.
Hegel juga berpendapat bahwa hakekat manusia yang sebenarnya adalah kerja, akan tetapi kerja oleh Hegel dipandang sebagai kerja rohani yang abstrak. Tetapi menurut Marx, kerja justru adalah sesuatu yang tercuri daripada manusia, bukan tercuri daripada roh. Berbeda dengan binatang, manusia harus menciptakan sendiri kemungkinan-kemungkinan bagi hidupnya.
Menurut Hegel, hidup yang konkrik itu hanya mewujudkan suatu unsur saja didalam proses perkembangan ide. Pandangan itu ditolak oleh Kierkegaard. Menurut Kierkegaard, setiap hari orang dihadapkan dengan pertanyaan : “Apa yang harus dilakukan dalam keadaan yang konkrit itu?” Patokan umum yang berlaku bagi seluruh umat manusia di segala zaman dan tempat tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang konkrit yang timbul sehari-hari. Sebab setiap orang dihadapkan dengan persoalannya sendiri, yang khusus hanya berlaku baginya. Persoalan yang konkrit yang timbul setiap hari itu oleh Kierkegaard disebut “persoalan-persoalan eksistensial”.

KRITIKAN DARI penulis

Hegel mengatakan, bahwa dia mengidam-idamkan agama yang rasional tetapi juga berakar pada semangat kebudayaan dari negaranya. Dia juga kurang setuju dengan agama Kristen yang rasional, yang membuat para penganutnya tercerabut dari semangat kebudayaan Jerman. Menurut saya, agama yang rasional tidak akan membuat rakyat atau para penganutnya lupa akan kebudayaan negaranya. Akan tetapi agama yang rasional akan memberi batasan yang sesuai terhadap kebudayaan itu. Semua itu juga kembali kepada para penganut agama itu sendiri. Jika para penganut agama itu sadar bahwa pentingnya menjaga ketaatan akan agamanya akan tetapi disisi lain dia juga tidak mau menghilangkan kebudayaan negaranya yang sudah ada maka dia akan menjalani agamanya dengan taat tetapi tetap melestarikan kebudayaannya. Melestarikan bukan berarti ikut menjalankan kebudayaan yang salah menurut agama yang dianutnya. Tetapi ikut menjaga dan menghormati orang yang menjalankan kebudayaan itu.
Jika Hegel menginginkan agama yang rasional maka dia juga harus berpikir secara rasional. Agama adalah suatu ajaran yang memberikan keselamatan dan kebaikan kepada para penganutnya. Maka daripada itu agama harus benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan agama yang diciptakan manusia atau agama karena kebudayaan. Jika agama berasal dari manusia atau kebudayaan, maka agama itu akan menjadi tidak mutlak. Jika manusia yang membuat agama itu salah maka agama yang diciptakannya juga akan salah. Agama adalah sebuah kenyakinan dari dalam hati manusia bukan sebuah hal yang harus dibuktikan secara akal atau rasio. Jika ingin agama itu menjadi sebuah hal yang rasional, maka kita harus menyakininya dulu bahwa agama itu memang rasional.


Referensi
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Soemargono, Soejono. 1992. Alih Bahasa. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Hadiwijono, Harun. 1980. Cetakan Pertama. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Brouwer, M.A.W. 1980. Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman. Bandung: Alumni.